Menanggung Biaya Kuliah Sendiri

Herry
Alumni Komputerisasi Akuntansi 1993
Jakarta

Menanggung Biaya Kuliah Sendiri
Sewaktu duduk di bangku Sekolah Menengah Ekonomi, Herry mengambil jurusan akuntansi. Setelah lulus SMEA pun berkeinginan masuk perguruan tinggi. “Pertimbangan masuk jurusan akuntansi karena ekonomi keluarga kurang mendukung, saya ikut kakak saya yang sudah terlebih dahulu kuliah di jurusan KA angkatan 92,” jelas cowok berzodiak sagitarius. Saat itu Herry berencana langsung bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Berhubung kondisi usaha orang tua sedang tidak begitu ramai dan harus membiayai sekolah adiknya.

Walaupun usaha sedang sepi, orang tua Herry tetap bertanggung jawab untuk menyekolahkan ke tingkat perguruan tinggi. “Ibu saya bilang hanya bisa bayar uang pangkal, SKS semester satu dan dua,” kenang penikmat lagu The Power of Love. Herry sendiri harus menanggung biaya perkuliahan mulai dari semester ketiga hingga selesai. Keinginan orang tua agar anak-anaknya dapat wisuda sebagai kebanggaan bagi keluarga besar dan lingkungannya.

Bersama sang pujaan hati yang sudah menjalin hubungan asmara sejak kelas 2 di SMEA, Herry melanjutkan kuliah di Binus jurusan Komputerisasi Akuntansi tahun 1993. Sambil menjalani kuliah, Herry mengajar privat siswa SD sebagai tambahan uang jajan dan ongkos jalan.
Ketika kuliah masuk ke semester tiga, Herry mengambil shift malam. “Puji Tuhan saya dapat pekerjaan di salah satu kantor distribusi kaca bagian accounting,” kata Herry. Seiring waktu berjalan ternyata kuliah sambil bekerja tidak semudah yang dipikirkan. Pekerjaan kantor yang banyak, ditambah tugas kampus, belajar untuk menghadapi kuis dan ujian. Herry pun harus kejar waktu untuk menyelesaikan semuanya. Tak jarang terkena jalanan macet atau kehujanan sewaktu menuju kampus. “Catatan yang tertinggal atau tidak keburu masuk kelas itu sudah biasa he…he…,” beber pengoleksi film Sun Tzu.

Harus Mencukupi Kebutuhan
Saat mengenang pertama kali kerja di kantor, rasanya senang sekali karena sesuai bidang jurusan. Gaji pertama tahun 1994 yang diperoleh adalah sebesar Rp 120.000,-. “Saking senangnya gaji pertama saya kasih ke ibu, saat itu masih ada ngajar privat di hari Sabtu dan Minggu, lumayan buat jajan dan nonton sama pacar saya,” ungkap Herry.
Dua bulan berlalu, Herry mulai berpikir dengan gaji saat itu harus mencukupi seluruh kebutuhan dan hanya bisa menabung sedikit. Untuk membayar kuliah saja saat itu Rp 25.000,-/sks sangat terasa sekali.

Kebetulan di kantor, Herry mengurus data komisi sales. Melihat jumlah insentif yang diterima sales bisa mencapai Rp 750.000,- hingga Rp 1.500.000,- per bulan. Hal ini membuat Herry berpikir melihat angkat tersebut dan penasaran dengan latar belakang sales. “Waktu itu saya anak baru yang tidak bergaul dengan tim sales, lagian juga beda ruangan dan lantai,” jelas Herry.
Hampir tiap hari Herry berpikir tentang perolehan sales untuk komisi sebesar itu, sedangkan gajinya sendiri hanya Rp 120.000,-/bulan. Setiap hari mesti bawa makan siang sendiri dari rumah demi mengurangi pengeluaran. Herry pun mencari tahu latar belakang para sales, ternyata hanya lulusan SD, SMP bahkan ada yang sudah berusia 58 tahun.
Timbul di benak Herry dengan berbagai pertanyaan. Apakah salah tempat? Apakah harus pindah kerja? Akhirnya mencoba berpikir bijaksana, mungkin belum ada pengalaman.

Galau Mendapat Gaji
Di bulan ketiga Herry kembali galau dan berpikir kapan bisa mendapat gaji sebesar itu. Dengan nekad mencoba resign, langsung ditanya alasan oleh atasan. Herry menjawab ingin konsentrasi kuliah, padahal gaji kecil. Atasan pun menjelaskan bahwa ada percobaan selama tiga bulan, dan diperpanjang menjadi karyawan tetap. Gaji naik Rp 30.000,- menjadi Rp 150.000,-/bulan. Alasan ini yang membuat Herry tidak jadi resign.
Masuk bulan ke empat mulai mencoba mencari pekerjaan di bagian penjualan. Meskipun beda jurusan kuliah, tapi di pikiran Herry adalah mencari gaji yang lumayan baik. “Mau jajan, bayar kuliah, bantu keluarga, beli rumah, mau menikah, banyak maunya ha…ha…”, beber cowok yang aktif di komunitas One for One.

Bulan ke enam, Herry mengundurkan diri dan pindah ke salah satu kantor cabang di Jakarta yang bergerak dalam bidang industri keramik. Pabriknya ada di Surabaya dan cukup besar untuk skala nasional. Gaji pokok yang diterima sebagai sales adalah Rp 480.000,-/bulan, itu belum termasuk uang makan, transport dan komisi. Ternyata Herry menjadi sales paling muda (usia 19 tahun) se-nasional untuk kantor tersebut. Rasa bangga dan tidak enak bercampur aduk jadi satu. Bangga karena bisa banyak belajar dengan senior, tidak enak karena dianggap masih anak-anak.
Menjadi sales tidak semudah yang dibayangkan, seperti banyak trik yang digunakan atau persaingan ketat antar sales. Secara mental memang Herry belum siap, tapi jika dilihat dari gaji dan komisi tentu saja sangat senang. Namun motiviasi Herry adalah gaji yang baik, bisa beli motor RX-King, bayar kuliah, jajan dan bantu keluarga.

Hal paling berkesan di tahun 1995, Herry dapat menabung dan DP KPR di daerah Tangerang. Saat mau akad kredit, ternyata ditolak lantaran syaratnya harus minimal berusia 21 tahun. “Waktu itu saya belum 21 tahun,” kenang Herry. Akhirnya DP dikembalikan dengan potongan biaya administrasi. Rumah tidak jadi beli, tapi tetap lanjut semangat untuk kerja, belajar dan menabung untuk beli rumah.Tanggung Jawab Moral
Akibat dari kesibukan kerja, kondisi kuliah menjadi kurang diperhatikan. Target penjualan adalah keliling mencari order lalu meeting untuk laporannya hingga malam hari. Hal ini yang mengakibatkan IPK “terjun bebas”. Pergumulan di hati pun terjadi pada Herry. Konsekuensi dalam mencari uang mengakibatkan kuliah terganggu bahkan bisa drop out. Herry mencoba memperbaiki mata kuliah bernilai D, akhirnya berimbas ke waktu kuliah yang semakin lama. Dengan mengulang, maka satu persatu nilai menjadi baik dan IPK pun kembali memuaskan. Tekad untuk mengejar ketinggalan kuliah sebagai tanggung jawab moral pada keluarga. “Saya harus bisa lulus wisuda,” kata Herry.

Setelah tiga tahun menjadi sales, Herry pindah ke perusahaan PMA bidang industri Granite Tile. Gaji yang diperoleh lumayan memuaskan dan fleksibel untuk bisa kejar kuliah. Kala itu kondisi ekonomi mulai memburuk dengan harga per 1 USD dari Rp 2.000,- ke Rp 3.000,-. Berkat saran dari keluarga, Herry bersama sang kekasih hati membeli kurs USD. Semua tabungan, komisi juga yang lainnya diinvestasikan dalam USD.
Tak disangka kurs USD menembus Rp 16.000,-. Herry sepakat dengan pacarnya menjual semua tabungan USD. Hasilnya dapat membeli rumah di Jakarta dengan cash tanpa KPR. “Walaupun kecil yang penting punya rumah sendiri saat usia 22 tahun, saya sangat bersyukur pada Tuhan,” kenang cowok yang suka masak katsu caree. Selain itu juga calon mertua sering bertanya tentang kelulusan kuliah. “Bingung jawabnya hanya senyum-senyum saja ha…ha…,” ungkap penggemar salad bar.

Lulus Kuliah
Awal tahun 1999 Herry mengambil skripsi bersama salah satu temannya Setia Dharma. Berhubung materi untuk skripsi dari kantor Herry, sehingga lebih mudah untuk diperoleh. Pertengahan tahun 1999 lulus sidang skripsi, membuat hati orang tua Herry sangat senang. Akhir tahun Herry wisuda dan langsung mengajak pacarnya untuk mencari tempat resepsi pernikahan. Calon mertua pun diberi tahu bahwa bulan Desember 1999 mau menikah.
Di kantor, Herry mendapat apresiasi kenaikan jabatan sehingga mendapat biaya tambahan untuk pernikahan. “Puji Tuhan akhir November wisuda, tanggal 19 Desember 1999 langsung menikah dan berjalan lancar, padahal usia baru 24 tahun,” kenang cowok yang suka nyanyi. (henky honggo)
NB: profil ditulis oleh Henky Honggo
#alumniBinus
#IKABinus
#DivisiMediaSosial
#ProfilAlumni
#Komputer
#KomputerisasiAkuntansi
#Herry
#Jakarta
HerryLmvr

Posted by

Henky Honggo

Henky Honggo

IKABINUS Social Media Team & Jurnalist at Tribun News Sumatra Selatan https://www.instagram.com/henkyhonggo