Merasa Bukan Anak Pintar

PROFIL ALUMNI
Kenedy Hermawan
Alumni Desain Visual Komunikasi 1999
Bekasi – Jawa Barat

Merasa Bukan Anak Pintar
Terlahir dari keluarga pedagang yang memiliki 6 orang anak. Kenedy Hermawan sebagai putra bungsu yang merasakan hidup sangat berkecukupan. “Saya agak santai karena melihat kakak saya yang tertua dimodali buka toko kelontong,” kenang Ken panggilan akrabnya. Ken merasa bukan anak pintar, nilai hanya cukup untuk naik kelas atau lulus.
Ketika Ken duduk di bangku SMK, bisnis orang tua bangkrut karena dua kali terjadi kebakaran. “Akhirnya saya dapat tugas jualan gula merah ke pasar-pasar di Babelan salah satu desa di Bekasi,” kenang penggemar olahraga futsal. Dari sana Ken belajar berdagang dan bergaul dengan pemilik toko yang kebanyakan merupakan sahabat orang tuanya.
Bantuan Sahabat
Setelah lulus sekolah menengah atas, keluarga masih mampu membiayai kuliah Ken walaupun terasa berat. Ken kuliah di Binus dengan dana terbatas, artinya harus super irit. Jurusan DKV ternyata memberikan tugas yang cukup menguras uang. Sebagai contoh biaya cetak warna untuk ukuran A3 seharga 25 ribu saat itu. Dengan angka tersebut dapat disamakan dengan uang makan selama dua hari.
Saat kuliah di semester 3, hampir saja tidak bisa lanjut karena nilai yang kurang memuaskan. Ken juga tidak sanggup untuk hidup irit dengan biaya tugas kuliah yang semakin besar. Untuk meminta uang kepada orang tua rasanya berat bagi Ken karena sangat memahami kondisi. “Tapi seorang sahabat saya menukar uang tabungan dollar untuk saya bisa terus kuliah,” beber penyuka buku sejarah.
Hal ini menjadi semangat bagi Ken untuk terus kuliah, walaupun harus berbagi waktu kerja sampingan. Menjaga warnet, tukang cap kertas saham, kurir menjadi bagian dari kegiatan Ken. Honor dari pekerjaan tersebut cukup memadai, sehingga Ken dapat konsentrasi kuliah. Nilai yang tidak bagus pun bisa diperbaiki. Tugas akhir Ken mendapat nilai A, tapi secara keseluruhan IPK masih 2 koma. Ken merasa tidak seperti kerja keras, malah setiap hari selalu bermain dengan sahabat di kampus. “Walau jomblo sepanjang kuliah, I had a blast, it was the best time of my life ha…ha…,” kata pengoleksi gundam.

Berimbas Nasib di Masa Depan
Selepas wisuda Ken bekerja di agensi kreatif dan beberapa kali dapat *freelance *yang salah satunya adalah Kara Santan. Saat itu Kara masih *struggling *mempromosikan penggunaan santan dalam kemasan. Ken yang mendesain kemasan dan beberapa item promosi. Bagi Ken itu hanya salah satu client, tidak ada yang istimewa termasuk desainnya. Tetapi pertemuan dengan Kara ternyata berimbas pada nasib baik di masa depan. “More on that later,” ungkap pemilik zodiak cancer.

Pengalaman yang tak terlupakan sewaktu bekerja di agensi adalah ketiduran saat mengerjakan project. “Saya dimaki-maki atasan, tapi saat itu sudah pukul 3 pagi karena tertidur di depan keyboard,” beber Ken. Keesokan harinya Ken langsung *resign *dan memutuskan tidak akan bekerja di agensi lagi. Di tahun yang sama, ayah Ken dipanggil Yang Maha Kuasa. Ini semakin membuat tekad Ken untuk bekerja di lingkungan yang lebih sehat.
Setelah itu Ken sempat menjadi guru di BPK Penabur selama 2 tahun, tetapi faktor ekonomi dan rencana untuk menikah yang “memaksa” kembali kerja kantoran. Lalu Ken menjadi *creative *di client side, bagian pendukung dari divisi *Marcomm *LG. “Saya belajar banyak dari organisasi besar dengan tanggung jawab yang lebih besar,” papar penikmat musik indie.
Selang 2 tahun kemudian, kakak ipar Ken mengajak bergabung di perusahaan yang baru dirintis yaitu perusahaan yang bergerak di bidang chemical maintenance. Di sini Ken menerapkan segala pengalaman yang dimiliki. Ken diberi kesempatan dalam berbagai posisi seperti marcomm, HRD, manajer operasional, hingga perusahaan dapat berkembang dan memiliki pabrik sendiri. “Saya dipercaya jadi general manager pabrik cat mereka di Jababeka Cikarang,” kata penggiat di komunitas esports.

Membawa “hoki”
Delapan tahun berlalu, Ken memutuskan untuk *resign *untuk mencari tantangan baru. Sempat kesulitan mencari pekerjaan karena usia di atas 35 tahun. “Mengandalkan pekerjaan sebagai freelancer, apa saja saya jalani selama saya mampu,” ungkap Ken. Termasuk saat itu menjadi *personal *EO di ulang tahun pemilik Kara Santan yang ke 80. Ken terkejut ternyata desain yang sudah bertahun-tahun lalu masih digunakan, walaupun itu dibuat oleh seorang *fresh graduate *dengan segala keterbatasan. Rupanya desain Ken dianggap klasik sehingga terus dipertahankan karena membawa “hoki”.
Sebulan lamanya Ken mengurus *event *tersebut dan sempat ngobrol dengan personel dari perusahaan tersebut. Mereka menawarkan Ken membentuk *marcomm team *untuk produk Kara Santan dan Nata de Coco. Ini seolah-olah berjodoh karena sudah lama pihak perusahaan berencana untuk go digital tetapi belum ada kandidat yang tepat. Para personil perusahaan merasa Ken bukan orang baru, maka dipertemukan dengan direktu baru Kara Santan. Alhasil ternyata klop, bulan tersebut Ken langsung mulai bekerja.
Tugas pertama Ken adalah penetrasi digital, ini hal baru bagi brand yang sudah lama dikenal. Tantangan yang dihadapi cukup berat karena banyak hal harus dikalibrasi. Termasuk di dalamnya menyeimbangkan antara nilai dan tradisi perusahaan. Pengalaman Ken yang dulu bergaul di pasar serta orang tua yang berprofesi sebagai pedagang, sangat berguna untuk menentukan strategi pemasaran di pasar tradisional. Tentu saja Ken mengetahui apa yang diinginkan pedagang sebagai customer perusahaan.
Satu tahun berselang, Kara Santan dikenal baik melalui dunia digital. Hal itu dilakukan dengan *engagement *di media sosial dan *conversion *di *official store *semua market place terkemuka di Indonesia. Kara Santan juga berhasil “mengawinkan” marketing tradisional dan digital dengan program Kara Poin. (henky honggo)

NB: profil ditulis oleh Henky Honggo
#alumniBinus
#IKABinus
#DivisiMediaSosial
#ProfilAlumni
#DKV
#DesainVisualKomunikasi
#KenedyHermawan
#Bekasi
#JawaBarat
#Ken Hermawan

Posted by

Henky Honggo

Henky Honggo

IKABINUS Social Media Team & Jurnalist at Tribun News Sumatra Selatan https://www.instagram.com/henkyhonggo